masukkan script iklan disini
NGAJI KITAB MASA’ILUSSHOLAT Part 03
[ Pengasuh PPHT Petuk Kediri ]
Tema : Permasalahan Waktu Sholat
Oleh : Zakka Yuzakki Tazkiyyan
🍀 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ 🍀
مَسَائِلُ مَوَاقِيْتِ الصَّلَاةِ
PERMASALAHAN SEPUTAR WAKTU SHOLAT
١). لو صلى مغربا في بلد الذي غابت الشمس فيه ثم سافر إلى بلد مطلعه آخر لم تغب فيه الشمس فهل تلزمه إعادة المغرب ؟
ج- لا تلزمه إعادة المغرب كما في حاشية الرملي الجزء الأول صـ ٤١٠ : هَلْ يُعْتَبَرُ اخْتِلَافُ الْمَطَالِعِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى إذَا غَابَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ فِي بَلَدٍ فَصَلَّى فِيهَا الْمَغْرِبَ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ الْخُطْوَةِ ثُمَّ سَافَرَ إلَى مَطْلَعٍ آخَرَ لَمْ تَغِبْ فِيهِ الشَّمْسُ فَهَلْ تَلْزَمُهُ إعَادَةُ الْمَغْرِبِ كَالصَّوْمِ أَوْ لَا تَلْزَمُهُ لِنَهْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّي الصَّلَاةَ فِي الْيَوْمِ الْوَاحِدِ مَرَّتَيْنِ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ تَتَكَرَّرُ بِخِلَافِ الصَّوْمِ وَأَيْضًا فَالْقِيَاسُ عَلَى الصَّبِيِّ إذَا صَلَّى أَوَّلَ الْوَقْتِ وَبَلَغَ فِي آخِرِهِ فَإِنَّهُ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ إعَادَةٌ وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِالْبُلُوغِ وَصَلَاتُهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ نَفْلٌ أَسْقَطَ الْفَرْضَ فَكَذَلِكَ مَنْ صَلَّى ثُمَّ حَضَرَ فِي مَطْلَعٍ آخَرَ
ولكن قال محمد شطا إعانة الطالبين وجبت الإعادة كما في إعانة الطالبين الجزء الأول صـ ١١٧ : وَلَوْ غَرَبَتْ الشَّمْسُ فِي بَلَدٍ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ سَافَرَ إلَى بَلَدٍ أُخْرَى فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ فِيهَا وَجَبَتْ الْإِعَادَةُ
1). Seumpama ada seseorang sudah melaksanakan sholat maghrib dinegara yang mataharinya sudah terbenam. Lalu ia melakukan perjalanan ke negara yang mathla’nya berbeda dan mataharinya belum terbenam. Apakah ia wajib mengulangi sholat maghribnya ?
📚 JAWAB
Ia tidak wajib mengulangi sholat maghribnya, Sebagaimana keterangan dalam Hasiyah Al-Romli Juz I Halaman 410 : “ Apakah perbedaan mathla’ itu diperhitungkan sehingga ketika matahari sudah terbenam disuatu negara kemudian seseorang sudah melaksanakan sholat di negara tersebut dan ia sendiri adalah orang yang tengah melakukan perjalanan. Lalu ia melakukan perjalanan ke suatu negara yang beda mathla’ yang disitu matahari belum terbenam, apakah wajib mengulangi sholat maghrib sebagaimana dalam masalah puasa atau tidak wajib karena ada larangan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam melakukan sholat dua kali dalam satu hari dan juga sholat itu kan berulang-ulang, berbeda dengan puasa. Dan ketika seperti itu, maka pengqiyasannya ( persamaan masalahnya ) yang sesuai adalah masalah anak kecil ketika sholat pada awal waktu kemudian berstatus baligh pada akhir waktu, yaitu tidak wajib baginya untuk mengulangi sholatnya meskipun si anak tersebut sudah berkewajiban sholat sebab baligh. Adapun sholatnya ( sebelum baligh ) statusnya adalah sholat sunah yang menggugurkan sholat fardlunya begitu juga orang yang sudah sholat lalu berada di negara yang beda mathla’ ”.
Akan tetapi Syekh Muhammad Syatho dalam Ianatut Tholibin mengatakan wajib mengulangi sholatnya, sebagaimana keterangan dalam Ianatut Tholibin Juz I Halaman 117 : “ Dan jika matahari telah terbenam disuatu negara kemudian seseorang melaksanakan sholat maghrib lalu ia bepergian ke negara lain yang mathla’nya berbeda dan ternyata dinegara tersebut ia menemukan matahari belum terbenam, maka wajib baginya untuk mengulangi sholatnya ”.
٢). هل يجب إيقاظ النائم للصلاة ؟
ج- فيه تفصيل : إن علم أنه غير متعد بنومه أو جهل حاله سن إيقاظه ، وإن علم تعديه بنومه وجب إيقاظه كما قال سليمان بن عمر الجمل في حاشيته على شرح المنهج الجزء الثالث صـ ١ : ( فَرْعٌ ) يُسَنُّ إيقَاظُ النَّائِمِ لِلصَّلَاةِ إنْ عُلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بِنَوْمِهِ أَوْ جُهِلَ حَالُهُ ، فَإِنْ عُلِمَ تَعَدِّيهِ بِنَوْمِهِ كَأَنْ عُلِمَ أَنَّهُ نَامَ فِي الْوَقْتِ مَعَ عِلْمِهِ أَنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ فِي الْوَقْتِ وَجَبَ إيقَاظُهُ ا هــ سم .
وكما في حاشية إعانة الطالبين الجزء الأول صـ ٣٢ : (قَوْلُهُ: كَنَوْمٍ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ) بِخِلَافِ مَا إِذَا تَعَدَّى، بِأَنْ نَامَ فِي الْوَقْتِ وَظَنَّ عَدَمَ الْاِسْتِيْقَاظِ، أَوْ شَكَّ فِيْهِ، فَلَا يَكُوْنُ عُذْرًا.
وفي حاشية الجمل الجزء الثالث صـ ٤ : ( فَرْعٌ ) نَامَ فِي الْوَقْتِ وَجَوَّزَ خُرُوجَ الْوَقْتِ قَبْلَ اسْتِيقَاظِهِ حَرُمَ كَذَا نُقِلَ عَنْ فَتَاوَى ابْنِ الصَّلَاحِ وَهُوَ يَقْتَضِي أَنَّهُ إنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ الِاسْتِيقَاظُ فِي الْوَقْتِ حَرُمَ ؛ لِأَنَّ الظَّنَّ الْمَذْكُورَ يُجَامِعُ تَجْوِيزَ خُرُوجِ الْوَقْتِ وَالْمَنْقُولُ عَنْ ابْنِ الصَّلَاحِ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ أَنَّهُ إذَا ظَنَّ الِاسْتِيقَاطَ فِي الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِلَّا حَرُمَ فَيَحْرُمُ فِي صُورَةِ الِاسْتِوَاءِ ا هـــ ح ل
2). Apakah wajib membangunkan orang yang tidur untuk melaksanakan sholat?
📚 JAWAB
Hukumnya tafshil ( diperinci ) :
⇛apabila ia tau bahwa orang tersebut tidak ceroboh dengan tidurnya atau tidak diketahui keadaannya ( apakah ceroboh atau tidak ), maka disunahkan untuk membangunkannya
⇛apabila ia tau kecerobohan orang tersebut dengan tidurnya, maka wajib untuk membangunkannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sulaiman bin Umar Al-Jamal dalam Hasiyahnya ala Syarhil Manhaj Juz III Halaman 1 : “ ( Masalah Cabangan ) Disunahkan membangunkan orang yang tidur untuk melaksanakan sholat jika diketahui bahwa ia tidak ceroboh dengan tidurnya atau tidak diketahui keadaannya ( apakah ceroboh atau tidak ). Jika diketahui ia ceroboh dengan tidurnya semisal diketahui ia tidur setelah masuk waktu sholat dan ia tau tidak akan bangun pada ( sisa ) waktu sholat ( maksudnya pada waktu sebelum habisnya waktu sholat ), maka wajib membangunkannya. Selesai penjelasan dari Imam Al-Syibromalisi “.
Dan sebagaimana keterangan dalam Hasiyah Ianatut Tholibin Juz I Halaman 32 : “ ( Perkataan pengarang : seperti tidur yang tidak ada unsur ceroboh ) Berbeda dengan masalah ketika ia ceroboh, seperti ia tidur setelah masuk waktu sholat dan ia mempunyai dugaan tidak bangun pada ( sisa ) waktu sholat atau ia ragu, maka hal tersebut bukan merupakan udzur ”.
Dan didalam Hasiyah Al-Jamal Juz III Halaman 4 : “( Masalah Cabangan ) Seseorang tidur setelah masuk waktu sholat dan ia mempunyai dugaan keluarnya waktu sholat sebelum ia terbangun, maka haram ( tidurnya tersebut ). Keterangan senada dinuqil dari Fatawi Ibnu Sholah yang memberi kesimpulan bahwa jika ia mempunyai dugaan kuat akan terbangun disisa waktu sholat, maka haram karena dugaan tersebut ada kemungkinan terbangun setelah keluarnya waktu sholat. Dan yang dinuqil dari Ibnu sholah dalam Syarah Al-Roudl bahwa ketika seseorang mempunyai dugaan terbangun sebelum keluarnya waktu maka tidak haram, dan jika sebaliknya maka haram. Berarti hukum haram tidur ( setelah masuknya waktu sholat) ini berlaku baik nanti ternyata terbangun atau tidak ".
٣). لو قضى فائتة الظهر مثلا شاكا في أنها عليه احتياطا فهل يكفي عليه أم لا ؟
ج- فيه تفصيل : إن بان أنها عليه لا يكفيه وإن لم يبن محدثا فإنه يجزئه للضرورة كما قال الشيخ زكريا بن محمد بن زكريا الأنصاري في أسنى المطالب شرح روضة الطالب الجزء الأول صـ ١٥٥ : ( وَلَوْ تَوَضَّأَ الشَّاكُّ ) بَعْدَ وُضُوئِهِ فِي حَدَثِهِ ( احْتِيَاطًا فَبَانَ مُحْدِثًا لَمْ يُجْزِهِ ) لِلتَّرَدُّدِ فِي النِّيَّةِ بِلَا ضَرُورَةٍ كَمَا لَوْ قَضَى فَائِتَةَ الظُّهْرِ مَثَلًا شَاكًّا فِي أَنَّهَا عَلَيْهِ ثُمَّ بَانَ أَنَّهَا عَلَيْهِ لَا يَكْفِيهِ بِخِلَافِ مَا إذَا لَمْ يَبِنْ مُحْدِثًا فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ لِلضَّرُورَةِ
وكما قال سليمان بن محمد بن عمر البجيرمي في تحفة الحبيب على شرح الخطيب الجزء الأول صـ ١٩٧ : وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَشُكَّ هَلْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ أَمْ لَا ؟ كَمَا لَوْ قَامَ بِهِ مَانِعٌ كَجُنُونٍ أَوْ حَيْضٍ انْقَطَعَ ، ثُمَّ شَكَّ هَلْ ذَلِكَ الِانْقِطَاعُ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ فَوَجَبَتْ الصَّلَاةُ أَوْ بَعْدَهُ فَلَمْ تَجِبْ فَصَلَّى احْتِيَاطًا ، ثُمَّ اتَّضَحَ الِانْقِطَاعُ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ فَلَا تُجْزِيهِ .
3). Jika seseorang mengqodlo sholat dhuhur yang ditinggalkan, dalam keadaan ia sendiri masih ragu apakah sholat dhuhur itu wajib ia qodloi, karena kehati-hatiannya. Apakah qodlo tersebut mencukupi ( dalam arti sah dan menggugurkan kewajibannya ) ?
📚 JAWAB
Tafsil ( diperinci ) :
⇛jika ternyata jelas bahwa sholat tersebut memang wajib ia qodloi, maka tidak sah ( dan belum mencukupi untuk menggugurkan kewajiban qodlo ).
⇛jika ternyata tidak jelas keadaannya ( masih tetap ragu ), maka qodlo tersebut sah karena dlorurot ( dalam keraguan niatnya ).
Seperti penjelasan Syekh Zakaria bin Muhammad bin Zakaria Al-Anshory dalam Asnal Matholib Syarah Roudlotut Tholib Juz I Halaman 155 : “ [Apabila ada seseorang yang berwudlu] orang ini terkait hadatsnya setelah wudlu ( sudah hadats apa belum). Ia melakukan wudlu ini karena ihtiyat dan ternyata ia sudah hadats, maka wudlunya tersebut tidak sah karena keraguannya didalam niat tanpa dlorurot, seperti halnya orang yang mengqodloi sholat dhuhur dalam keadaan ia sendiri masih ragu apakah sholat dhuhur itu wajib ia qodloi, maka sholat tersebut tidak sah. Beda halnya dengan masalah ketika belum jelas hadatsnya, maka sesungguhnya wudlunya tersebut sah karena dlorurot ( dalam keraguan niatnya ) ”.
Dan juga sebagaimana yang paparkan oleh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi dala, kitab Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khotib Juz I Halaman 197 : “ Adapun keadaan yang kedua yaitu ketika seseorang ragu apakah wajib baginya qodlo sholat ataukah tidak ? seperti ketika datang perkara yang mencegah sholat, semisal gila atau berhentinya haid kemudian ia ragu apakah berhentinya pencegah tersebut sebelum keluarnya waktu sholat sehingga ia wajib qodlo sholat atau setelah keluarnya waktu sholat sehingga ia tidak wajib qodlo sholat. Lalu ( dalam keadaan ragu tersebut ) ia mengerjakan sholat karena kehati-hatian dan ternyata telah jelas bahwa berhentinya pencegah sholat tersebut sebelum keluarnya waktu sholat ( berarti ia punya kewajiban qodlo sholat ), maka sholatnya karena kehati-hatian tersebut tidak sah ”.
٤). هل يجوز قلب الصلاة الفائتة نفلا لو شرع في فائتة معتقدا سعة الوقت فبان ضيقه عن جميع الحاضرة ؟
ج- لا يجوز قلبها نفلا بل يجب قطعها كما في حاشية قليوبي الجزء الأول صـ ١٣٦ : وَلَوْ شَرَعَ فِي فَائِتَةٍ مُعْتَقِدًا سَعَةَ الْوَقْتِ فَبَانَ ضِيقُهُ عَنْ جَمِيعِ الْحَاضِرَةِ وَجَبَ قَطْعُهَا ، وَلَا يَجُوزُ قَلْبُهَا نَفْلًا وَإِنْ أَتَمَّ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ فِي التَّشَهُّدِ لِأَنَّ اشْتِغَالَهُ وَلَوْ بِالسَّلَامِ يُفَوِّتُ جُزْءًا مِنْ الْوَقْتِ وَهُوَ حَرَامٌ .قَالَهُ شَيْخُنَا ، وَاعْتَمَدَهُ وَهُوَ الْوَجْهُ ، وَنُقِلَ عَنْ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ جَوَازُ قَلْبِهَا نَفْلًا ، وَلَمْ يَرْتَضِهِ شَيْخُنَا
4). Apakah boleh membalik ( merubah ) niat sholat qodlo menjadi sholat sunah jika seseorang tengah melaksanakan sholat qodlo dan meyakini waktu sholat masih panjang, ternyata waktunya sudah mepet ( tidak cukup ) untuk melaksanakan sholat ada’ ( padahal ia belum sholat yang ada’ ) ?
📚 JAWAB
Tidak boleh merubah niat sholat qodlo’nya menjadi sholat sunah ( untuk melakukan sholat ada’ karena waktunya sudah mepet ), akan tetapi ia wajib membatalkan/memutus sholatnya ( kemudian melakukan sholat ada’ ).
Sebagaimana keterangan dalam Hasiyah Qolyubi Juz I Halaman 136 : “ Dan jika seseorang sedang melaksanakan sholat qodlo dalam keadaan ia meyakini waktu sholat masih panjang tapi ternyata waktunya sudah mepet ( tidak cukup ) untuk melaksanakan sholat ada’, maka ia wajib memutus sholatnya, dan tidak boleh merubah sholat qodlo tersebut menjadi sholat sunah walaupun telah sempurna dua rokaat dan berada dalam posisi tasyahud, karena kesibukannya walaupun melakukan salam itu menghilangkan bagian dari waktu sholat ( ada’ ) dan itu haram. Hal ini telah dikatakan dan dimu’tamadkan oleh Syaikhuna dan yang dibuat wajah. Dan dinuqil dari Syaikhuna Romli, boleh untuk merubah sholat qodlo tersebut menjadi sholat sunah akan tetapi Syaikhuna tidak ridlo dengan apa yang dikatakan oleh Imam Romli ".
والله أعلم


