masukkan script iklan disini
GUMOH BAYI, NAJISKAH?
Sudah lazim ketika menyusui, bayi akan mengalami muntah (gumoh; jawa red). Dalam ilmu medis, istilah gumoh disebut dengan refluks. Gumoh atau refluks umumnya terjadi pada bayi yang masih berumur beberapa minggu hingga 4-5 bulan. Gumoh bisa terjadi disebabkan oleh terlalu banyak mengkonsumsi ASI. Hal ini merupakan hal yang wajar, sebab lambung bayi masih berukuran sempit. Namun, ada juga bayi yang gumoh disebabkan adanya infeksi pada pencernaan bayi.
Gumoh bayi menjadi problem tersendiri bagi orang yang selalu dekat dengan si bayi, khususnya ibu terkait hukum gumoh tersebut. Bagaimana fiqh mengatur hal ini?
Perlu diketahui bahwa muntah hukumnya adalah najis sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi:
وهذا الذي ذكره من نجاسة القيء متفق عليه سواء فيه قيء الآدمي وغيره من الحيوانات صرح به البغوي وغيره ، وسواء خرج القيء متغيرا أو غير متغير . وقال صاحب التتمة : إن خرج غير متغير فهو طاهر وهذا الذي جزم به المتولي ، هو مذهب مالك نقله البراذعي منهم في التهذيب والصحيح الأول وبه قطع الجماهير ، والله أعلم .
Makna Petuk
“Yang dikatakan oleh pengarang terkait status najisnya muntah itu sudah disepakati oleh para Ulama, baik muntah itu muntah manusia ataupun muntah binatang, ini yang telah dijelaskan oleh Imam Baghowi dan yang lainnya, baik keluar dalam keadaan berubah ataupun tidak berubah. Pengarang kitab At-Tatimmah mengatakan: apabila keluar dalam keadaan tidak berubah maka hukumnya suci, pendapat ini yang dipilih oleh Imam Mutawalli dan sesuai dengan madzhab Imam Malik sebagaimana yang dinuqil oleh Al-Barodzi'i dari kalangan Malikiyah dalam kitabnya At-Tahdzib. Adapun pendapat sohih yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama adalah yang pertama.” [Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syarof An-Nawawi, Al-Majmuk Syarh Al-Muhadzab Juz III hal. 434 DKI]
Muntah yang dihukumi najis adalah yang keluar setelah sampai lambung. Adapun yang keluar sebelum sampai lambung maka hukumnya suci. Syaikh Ahmad Zainuddin bin Muhammad Al-Ghozali bin As-Syaikh Zainuddin Al-Kabir menjelaskan:
وَقَيْءُ مَعِدَّةٍ وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَهُوَ الرَّاجِعُ بَعْدَ الْوُصُوْلِ لِلْمَعِدَّةِ وَلَوْ مَاءً، أَمَّا الرَّاجِعُ قَبْلَ الْوُصُوْلِ إِلَيْهَا يَقِيْنًا أَوِ احْتِمَالًا فَلَا يَكُوْنَ نَجْسًا وَلَا مُتَنَجِّسًا
“Dan (termasuk najis adalah) muntahan dari lambung walaupun tidak berubah. Muntah adalah sesuatu yang kembali keluar setelah sampai pada lambung, walaupun berupa air. Adapun sesuatu yang diyakini atau diragukan belum sampai pada lambung, maka tidak najis bahkan tidak mutanajjis.” [Ahmad Zainuddin bin Muhammad Al-Ghozali bin As-Syaikh Zainuddin Al-Kabir, Fathul Muin hal. 19 DKI]
Maka muntahan atau gumoh bayi hukumnya adalah najis jika diyakini sudah sampai lambung dan keluar lagi. Lalu bagaimana dengan ibu-ibu dan orang-orang yang selalu dekat dengan bayi, apakah najisnya dima'fu (ditolerir) bagi mereka? Atau orang lain yang menyentuh atau mencium hingga terkena gumoh?
Saya sendiri mulai anak saya Muhammad Hibatullah Albarizi lahir sampai sekarang, Rabu 23 September 2020 (28 hari) menyaksikan gumoh dan terkena gumohnya.
Dalam kitab Fathul Muin syarah Qurrotul Ain, Syaikh Zainuddin Al-Malibari menuqil fatwa gurunya, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami terkait gumoh. Beliau mengatakan:
وأفتى شيخنا أن الصبي إذا ابتلي بتتابع القئ عفي عن ثدي أمه الداخل في فيه، لا عن مقبله أو مماسه
Makna Petuk
“Syaikhuna (Ibnu Hajar Al-Haitami) berfatwa bahwa anak kecil yang dilanda sering muntah, maka najisnya ditolerir dinisbatkan pada puting susu ibunya yang masuk didalam mulutnya, bukan orang yang mencium atau menyentuhnya.” [Juz I hal. 145 DKI dan Juz I hal. 101 Darul Fikr]
Mengomentari fathul Muin diatas, Sayyid Al-Bakri dalam Ianatut Tholibin mengatakan:
(قوله: وأفتى شيخنا أن الصبي إلخ) عبارة فتاويه: وسئل رضي الله عنه: هل يعفى عما يصيب ثدي المرضعة من ريق الرضيع المتنجس بقئ أو ابتلاع نجاسة أم لا؟ فأجاب رضي الله عنه: ويعفى عن فم الصغير وإن تحققت نجاسته. كما صرح به ابن الصلاح فقال: يعفى عما اتصل به شئ من أفواه الصبيان مع تحقق نجاستها. وألحق بها غيرها من أفواه المجانين. وجزم به الزركشي. ويؤيد ذلك نقل المحب الطبري عن ابن الصباغ، واعتمد أنه يعفى عن جرة البعير فلا تنجس ما شربت منه، ويعفى عما يتطاير من ريقه المتنجس، وألحق به فم ما يجتر من ولد البقر والضأن إذا التقم أخلاف أمه، لمشقة الاحتراز عنه، سيما في حق المخالط لها. ويؤيده ما في المجموع عن الشيخ أبي منصور أنه يعفى عما تحقق إصابة بول ثور الدياسة له. والله سبحانه وتعالى أعلم اهـ. وإذا تأملت الجواب المذكور تجد فيه أنه لا فرق في العفو عن فم الصبي بين ثدي أمه الداخل في فيه وغيره من المقبل له، والمماس له، وليس فيه تخصيص بالثدي المذكور. وسينقل الشارح عن ابن الصلاح ما يفيد العموم. فهو موافق لجواب الفتاوي المذكور. ويمكن أن يقال إن لشيخه فتوى غير هذه لم تقيد في الفتاوي. (قوله: عفي إلخ) أي فلها أن تصلي به ولا تغسله. وقوله: عن ثدي أمه هو صادق بغير الحلمة. لكن قوله: الداخل في فيه يخصصه بها، إذ هي التي تدخل ففم الصبي لا غير. (قوله: لا عن مقبله) هو بضم الميم وفتح القاف وتشديد الباء. وقوله: أو مماسة من عطف العام على الخاص. فلو قبل فم الصبي المبتلى بتتابع القئ، أو مسه، ولو من غير تقبيل، لا يعفى عنه فيجب غسله. ونقل سم عن م ر أنه لو تنجس فم الصبي الصغير بنحو القئ، ولم يغب وتمكن من تطهيره، بل استمر معلوم التنجس، عفي عنه فيما يشق الاحتراز عنه، كالتقام ثدي أمه فلا يجب عليها غسله، وكتقبيله في فمه على وجه الشفقة مع الرطوبة فلا يلزم تطهير الفم اهـ
{Perkataan Syarih: "Syaikhuna (Ibnu Hajar Al-Haitami) berfatwa bahwa anak kecil dst"} redaksi kitab Fatawi Ibnu Hajar : *Beliau ditanya, apakah ditolerir atau tidak sesuatu yang mengenai puting seorang ibu menyusui yaitu ludah bayi yang menjadi najis sebab muntahan atau menelan perkara najis? Kemudian beliau menjawab: Sesuatu yang keluar dari mulut anak kecil ditolerir walaupun telah nyata-nyata najis sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Sholah yang berkata: sesuatu yang mengenai mulut anak kecil itu ditolerir walaupun (mulutnya) telah nyata-nyata najis dst...*. Dan ketika kalian merenungi jawaban Imam Ibnu Hajar diatas maka akan menemukan bahwa yang ditolerir dari najisnya mulut anak kecil itu tidak ada perbedaan antara puting susu ibu yang masuk pada mulut bayi atau yang lain semisal orang yang mencium atau menyentuhnya. Dalam fatwa tersebut tidak ada pengkhususan puting susu. Di pembahasan yang akan datang, Pensyarah (Syaikh Zainuddin Al-Malibari) akan menuqil penjelasan dari Ibnu Sholah yang memberi faidah umum, berarti ini selaras dengan jawaban fatawi diatas. Tapi mungkin saja gurunya Syarih (Imam Ibnu Hajar) punya fatwa lain selain fatwa ini.”
Dari penjelasan Fathul Muin diatas memberi kesimpulan Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa yang ditolerir terkhusus pada puting susu ibu, bukan pada orang yang mencium atau menyentuhnya. Sedangkan dalam Fatawi beliau yang ditampilkan oleh Sayyid Al-Bakri agaknya tidak membedakan antara puting susu ibu atau yang lain meskipun diakhir Sayyid Al-Bakri mengatakan masih ada kemungkinan ada fatwa lain yang beda.
Apakah memang benar ada fatwa lain yang berbeda?
Saya menduga kuat bahwa yang dimaksud oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam fathul Muin adalah fatwa dari pertanyaan beliau sendiri kepada Imam Ibnu Hajar Al-Haitami yang beliau tulis dalam kitab Al-Ajwibah Al-Ajibah An Al-As'ilah Al-Ghoribah Berikut redaksinya:
سألت من أفواه الصبيان الذين تقيئوا هل يعفى عنها بالنسبة إلى ثدي الأم إلى من قبلها أو مسها أو لا؟
فأجاب شيخنا شيخ الإسلام والمسلمين خاتم المحققين مفتي الأنام إلى الحرمين شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي الشافعي تغمده الله برحمته أن الذي يظهر أن الصبي إذا ابتلي بتتابع القيء عفي عن ثدي أمه الداخل في فمه لا عن مقبله أو مماسه لأن الضرورات تتقدر بقدرها [ زين الدين المليباري، الأجوبة العجيبة عن الأسئلة الغريبة ]
Makna Petuk
Aku bertanya tentang mulut anak kecil yang habis muntah, apakah dima'fu dinisbatkan pada puting ibu dan orang yang mencium atau menyentuhnya?
Guru kami, Syaikhul Islam Wal Muslimin Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami menjawab bahwa pendapat yang dhohir adalah ketika anak kecil dilanda selalu muntah, maka dima'fu untuk puting susu ibunya yang masuk dimulutnya, bukan untuk orang yang mencium atau menyentuhnya, karena darurat itu dikira-kirakan sesuai kadarnya.
Aku bertanya tentang mulut anak kecil yang habis muntah, apakah dima'fu dinisbatkan pada puting ibu dan orang yang mencium atau menyentuhnya?
Guru kami, Syaikhul Islam Wal Muslimin Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami menjawab bahwa pendapat yang dhohir adalah ketika anak kecil dilanda selalu muntah, maka dima'fu untuk puting susu ibunya yang masuk dimulutnya, bukan untuk orang yang mencium atau menyentuhnya, karena darurat itu dikira-kirakan sesuai kadarnya.
Berbeda dengan Imam Ibnu Hajar, Imam Romli menyatakan bahwa yang ditolerir adalah puting susu ibu atau yang lain seperti mencium mulut bayi yang ada gumohnya. Ini terekam dalam Bujairimi Ala Al-Khotib sebagai berikut:
حاشية البجيرمي على الخطيب ج ١ صحـ ٩٥
وَيُعْفَى عَنْ فَمِ صَبِيٍّ بِالنِّسْبَةِ لِثَدْيِ أُمِّهِ وَغَيْرِهِ كَتَقْبِيلِهِ فِي فَمِهِ عَلَى وَجْهِ الشَّفَقَةِ مَعَ الرُّطُوبَةِ، فَلَا يَلْزَمُ تَطْهِيرُ الْفَمِ كَذَا قَرَّرَهُ م ر اهـ سم عَلَى ابْنِ حَجَرٍ.
Makna Petuk
“Dan ditolerir mulut anak kecil dinisbatkan pada puting susu ibunya atau yang lain seperti mencium mulutnya karena kasih sayang dalam keadaan basah. Maka tidak wajib untuk mensucikan mulut. Itulah yang juga ditetapkan oleh Imam Romli.”
Dari penjelasan panjang lebar ini bisa ditarik kesimpulan bahwa:
✔ Hukum muntah adalah najis termasuk gumoh bayi jika diyakini sudah sampai lambung.
✔ Najis gumoh dima'fu (ditolerir) khusus puting susu ibu yang masuk mulut bayi sehingga daerah yang tidak dimasuki mulut bayi tidak dima'fu menurut Imam Ibnu Hajar. Sedangkan menurut Imam Romli dima'fu baik puting susu ibu atau yang lain.
📝 Catatan: Imam Ibnu Hajar dalam salah satu Fatwa beliau tidak membatasi pada puting susu ibu.
Tambahan referensi:
إثمد العين صحـ ١٣٠ ط. مكتبة دار الفكر
( مَسْأَلَةٌ ) يُعْفَى عَمَّا يَشُقُّ اْلاحْتِرَازُ عَنْهُ مِنْ قَلِيْلِ قَيْءٍ الصَّبِيِّ بِالنِّسْبَةِ لِلْمُرْضِعَةِ لاَ عَنْ قَلِيْلِ بَوْلِهِ وَغَائِطِهِ إِذْ اْلابْتِلاَءُ بِإِرْضَاعِهِ أَقْوَى مِنْهُ بِحَمْلِهِ
فتاوي ابن حجر الهيتمي ج ١ صحـ ٢٣٤ ط. دار الكتب العلمية
وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: هَلْ يُعْفَى عَمَّا يُصِيْبُ ثَدْيَ الْمُرْضِعَةِ مِنْ رِيْقِ الرَّضِيْعِ الْمُتَنَجِّسِ بِقَئْ ٍ أَوِ ابْتِلَاعِ نَجَاسَةٍ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: وَيُعْفَى عَنْ فَمِ الصَّغِيْرِ وَإِنْ تَحَقَّقَتْ نَجَاسَتُهُ. كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الصَّلَاحِ فَقَالَ: يُعْفَى عَمَّا اتَّصَلَ بِهِ شَىْئٌ مِنْ أَفْوَاهِ الصِّبْيَانِ مَعَ تَحَقُّقِ نَجَاسَتِهَا.
Muhammad Muzakka
Ponorogo, 23 September 2020
