HUKUM
IMUNISASI MEASLES RUBELLA (MR)
Deskripsi Masalah
Secara literal, imunisasi
berasal dari kata ‘imun’ yang berarti kebal terhadap suatu penyakit. Dengan
demikian ‘imunisasi’ berarti pengebalan terhadap suatu penyakit. Prosedur
pengebalan tubuh terhadap penyakit melalui teknik vaksinasi. Kata ‘vaksin’ itu
sendiri berarti senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas atau
sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Itulah sebabnya imunisasi identik dengan
vaksinasi. Vaksin terbuat dari virus yang telah dilemahkan dengan menggunakan
bahan tambahan seperti formaldehid dan thyrmorosal. [1]
Baru-baru ini kita dihebohkan
dengan gerakan pemerintah melakukan eliminasi penyakit Campak Measles Rubella
melalui imunisasi yang menuai polemik. Status vaksin yang belum terverifikasi
halal membuat masyarakat ragu. Berikut fakta-fakta tentang imunisasi MR:
1. Tak Ada Obat untuk Penyakit Campak dan Rubella Indonesia
berkomitmen untuk mencapai eliminasi penyakit campak (measles) dan pengendalian
penyakit Rubella (Congenital Rubella Syndrome) pada tahun 2020. Salah satu
strateginya dengan melaksanakan Kampanye dan Introduksi Imunisasi Measles
Rubella (MR).
2. Sasaran Imunisasi MR
Imunisasi MR diberikan pada anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15
tahun selama masa kampanye. Imunisasi MR masuk ke dalam jadwal imunisasi rutin
segera setelah masa kampanye berakhir, diberikan pada anak usia 9 bulan, 18
bulan dan anak kelas 1 SD/sederajat tanpa dipungut biaya.
3. Belum Ada Ajuan Sertifikasi
Halal Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Babel, Akhmad Lutfi mengatakan
imunisasi measles rubella (MR) yang sudah gencar disosialisasikan, pihaknya
belum menerima ajuan sertifikasi halal untuk vaksin itu.
Namun ia pun mengatakan
penggunaan vaksin yang belum terverifikasi halal tidak diperbolehkan. Kendati
demikian, menurutnya, ada beberapa kondisi yang membuat vaksin yang belum
terverifikasi halal itu bisa digunakan.
"Pertama, belum ada vaksin
halal sejenis yang ada dan tersedia. Kedua, ada situasi kondisi yang darurat
atau hajat yang jika tidak divaksin akan menyebabkan kematian atau cacat tetap.
Ketiga, ada opini dari ahli yang memiliki kompetensi dan kredibilitas yang
menyatakan itu dan tidak ada alternatif pengobatan yang lain," jelasnya.
4. Fatwa MUI Soal imunisasi,
MUI mengeluarkan fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi, yang salah satunya
menegaskan bahwa imunisasi pada dasarnya diperbolehkan untuk kepentingan
menjaga kesehatan, baik individu maupun kesehatan masyarakat. Akan tetapi
imunisasi yang diperbolehkan itu wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
"Fatwa MUI sudah
disampaikan bahwa ini mubah. Artinya, imunisasi ini manfaatnya jauh lebih
banyak daripada madlorotnya ," ungkap Direktorat LPPOM MUI, Nardi Pratomo.
Nardi pun menyampaikan yang
ditakutkan jika tidak memiliki sertifikat halal adalah mengandung kandungan
dari hewan haram yakni Babi, sebab DNA manusia dengan hewan tersebut adalah
sama. [2]
Pembuatan Vaksin
Menurut WHO, vaksin adalah
preparat biologis yang meningkatkan imunitas terhadap penyakit tertentu. Dalam
proses pembuatan vaksin, virus atau bakteri harus terjaga kualitasnya agar
vaksin mempunyai potensi yang efektif dalam mencegah penyakit. Sebagai produk
biologis, proses pembuatan vaksin melibatkan komponen sel hidup, baik dari
manusia atau hewan, untuk dapat mengembangbiakkan virus dan bakteri.
Secara umum proses produksi
vaksin terdiri atas beberapa tahap berikut ini: (1) Persiapan seed
(benih/bibit), (2) Kultivasi (penanaman pada hewan atau manusia), (3) Panen,
(4) Inaktivasi, (5) Pemurnian, (6) Formulasi, (7) Pengisian dan pengemasan. [3]
Materi yang digunakan sebagai
bahan vaksin antara lain: enzim yang berasal dari babi, seline janin bayi,
organ bagian tubuh seperti: paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid,
thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi janin. Vaksin polio terbuat dari
babi; atau campuran dari ginjal kera, sel kanker manusia, dan cairan tubuh
hewan tertentu antara lain serum dari sapi atau nanah dari cacar sapi, bayi
kuda atau darah kuda dan babi, dan ekstrak mentah lambung babi, jaringan ginjal
anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, dan jaringan otak kelinci. [4]
Sebenarnya, proses pembuatan
vaksin di era modern sangat kompleks, dengan beberapa tahapan. Yang jelas tidak
ada proses seperti menggerus puyer. Enzim tripsin babi digunakan sebagai
katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino, yang menjadi
bahan makanan kuman. Kuman tersebut, usai dibiakkan kemudian difermentasi dan
diambil polisakarida di dinding sel sebagai antigen, bahan pembentuk vaksin.
Selanjutnya, proses purifikasi (pemurnian) dan ultrafiltrasi dilakukan hingga
keenceran 1/67,5 miliar kali dan terbentuk vaksin. Pada hasil akhir proses,
tidak terdapat sama sekali bahan-bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan,
antigen vaksin sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi, baik secara
langsung maupun tidak.5 Jadi isu yang menyebut vaksin mengandung babi menjadi
sangat tidak relevan, karena tahapan proses pembuatan vaksin tidak seperti yang
dibayangkan.
Mengapa Babi Jadi Hewan Penting
dalam Riset Kedokteran?
Selama lebih dari 30 tahun,
para ilmuwan telah menggunakan babi dalam berbagai bidang kedokteran, termasuk
dermatologi, kardiologi (jantung), dan masih banyak lagi. Baru-baru ini para
ilmuwan bahkan mampu menumbuhkan kembali otot kaki manusia menggunakan implan
yang dibuat dari jaringan kandung kemih babi. Lantas, apa yang membuat hewan
ini begitu bernilai dalam riset kedokteran? Babi dan manusia memang banyak
perbedaan. Keduanya hanya berbagi tiga klasifikasi ilmiah, dan tentu saja tidak
ada kemiripannya dari luar. Meski demikian, sistem biologi babi sebenarnya
sangat mirip dengan manusia. "Mereka punya sejumlah kesamaan anatomi dan
fisiologi dengan manusia walau sistemnya berbeda. Babi merupakan model riset
translasi. Oleh karenanya, apa yang bekerja pada babi, besar kemungkinannya
akan bekerja juga pada manusia," kata dr Michael Swindle, penulis buku
Swine in the Laboratory. Swindle menjelaskan, mayoritas organ sistem babi punya
kesamaan hingga 90 persen jika dibandingan dengan sistem pada manusia, baik dalam
hal anatomi maupun fungsi. [6]
Terkait pandangan agama, dimana
kita menilai kalau tidak sakit kenapa diberikan imunisasi, kenapa dikatakan
darurat. Ditambah lagi ada kemungkinan program vaksin adalah konspirasi barat.
Dimana hewan babi yang telah jelas keharamannya ternyata memiliki banyak sekali
mamfaat.
Terhadap hal seperti ini,
merupakan tanggung jawab umat islam untuk mampu mengeluarkan seorang pakar
medis yang dapat memproduksi obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat termasuk
vaksin.
Dalam syari’at Islam, menjaga
kesehatan merupakan bagian dari hal dasar yang dianjurkan. Bahkan, tidak hanya
dianjurkan tapi dibangunnya landasan hukum Islam menjaga jiwa.
masukkan script iklan disini
Imunisasi dalam perspektif
hukum Islam merupakan ikhtiar dalam menjaga kesehatan di dalam preventif.
Namun, kenapa harus menggunakan vaksin yang mengandung enzim babi. kita bisa
menerima pengobatan secara preventif, tetapi pengobatan dalam perspektif hukum
Islam dilarang menggunakan enzim haram.
Pertanyaan:
a) Bagaimana hukum imunisasi
menggunakan vaksin yang masih diperdebatkan status kehalalannya?
Jawaban:
Hukum imunisasi menggunakan
Vaksin MR diharamkan karena beberapa faktor:
1. Najis
Vaksin MR terdapat bahan dari
zat babi atau pernah pernah bersinggungan dengan babi dan belum melewati proses penyucian yang mu’tabar.
2. Tiak ada darurat maupun
hajat
Dalam imunisasi penyakit belum
ada pada anak yang diimunisasi, maka tidak ada unsur darurat maupun hajat yang
memperbolehkan berobat dengan benda najis.
3. Tidak ada saksi dari ahli
medis yang bisa dibuat acuan hukum
Pembuat dan penemu Vaksin MR
dari kalangan non Islam, sehingga keterangannya tidak bisa dipercaya untuk
dijadikan pijakan hukum. Adapun keterangan dari ahli medis muslim semuanya
mengacu pada penelitian ahli medis non Islam bukan dari penelitiannya sendiri.
Rekomendasi dan Imbauan Lajnah
Bahtsul Masail Pon. Pes. Lirboyo
▪ Memandang dibutuhkannya ahli
medis yang kompeten dan dipercaya, maka wajib untuk mencetak ahli medis dari
kalangan kita sehingga mampu untuk memproduksi vaksin sendiri sesuai dengan
standart syariat dengan mengedepankan bahan dari perkara yang suci
▪ Dalam pandangan Islam Babi
adalah binatang yang paling berat hukum kenajisannya bahkan para Ulama Suffi
sepakat bahwa babi memiliki pengaruh besar membutakan hati, tertutupnya hati,
sehingga sulit menerima nasihat, menjalankan kebajikan. Maka sepatutnya kita
sebagai ummat islam wajib menjaga generasi-generasi ummat islam ke depan dengan
tidak gegabah memperbolehkan atau membiarkan mengkonsumsi produk-produk yang
mengandung barang najis. Terlebih saat ini ummat islam sedang menghadapi
konspirasi besar yang ingin menghancurkan islam dari dalam dengan merusak
kejiwaan, akal, moral. Maka selayaknya kita semua harus waspada!!!...
________________________________
Referensi:
1). القرآن الكريم
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ3 وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [
البقرة : 173 ]
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembalih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak mengiginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” ( QS. Al
Baqoroh: 371)
{ حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ } [ المائدة : 3 ]
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al Maa`idah: 3)
2). الحديث
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا،
وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ» [ سنن أبي داود الجزء الثالث صـ 279 ]
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW. Bersbada
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya, bangkai
dan hasil penjualannya, serta babi dan hasil penjualannya” (HR: Abi Daud)
3). تفسير الرازي الجزء الثالث صـ
33
الفصل الثالث في الخنزير ، وفيه مسائل
: المسألة الأولى : أجمعت الأمة على أن الخنزير بجميع أجزائه محرم ، وإنما ذكر الله
تعالى لحمه لأن معظم الإنتفاع متعلق به ، وهو كقوله : { إِذَا نُودِىَ للصلاة مِن
يَوْمِ الجمعة فاسعوا إلى ذِكْرِ الله وذروا البيع } [ الجمعه : 9 ] فخص البيع بالنهي
لما كان هو أعظم المهمات عندهم ، أما شعر الخنزير فغير داخل في الظاهر وإن أجمعوا على
تحريمة وتنجيسه .
4). تفسير الرازي الجزء الثالث صـ
24
المسألة الثالثة : لما حرم الله تعالى
تلك الأشياء ، استثنى عنها حال الضرورة ، وهذه الضرورة لها سببان أحدهما : الجوع الشديد
، وأن لا يجد مأكولا حلالا يسد به الرمق ، فعند ذلك يكون مضطراً الثاني : إذا أكرهه
على تناوله مكره ، فيحل له تناوله .
5). حاشية إعانة الطالبين ج 2 صـ
92
ويجوز لبس الثوب المصبوغ بأي لون كان،
إلا المزعفر. ولبس الثوب المتنجس في غير نحو الصلاة حيث لا رطوبة لا جلد ميتة بلا ضرورة
كافتراش جلد سبع كأسد وله إطعام ميتة لنحو طير لا كافر ومتنجس لدابة ويحل مع الكراهة،
استعمال العاج في الرأس واللحية حيث لا رطوبة وإسراج بمتنجس بغير مغلظ إلا في مسجد
وإن قل دخانه خلافا لجمع وتسميد أرض بنجس لا
اقتناء كلب إلا لصيد أو حفظ مال (قوله: حيث لا رطوبة) قيد في الجواز، أي يجوز حيث لم
توجد رطوبة، أي في الثوب أو البدن، فإن وجدت حرم لحرمة التلطيخ بالنجاسة. (قوله: لا جلد ميتة) بالجر معطوف على الثوب المتنجس، أي لا يجوز لبس جلد
ميتة، سواء كانت ميتة كلب، أو خنزير، أو غير ذلك. وعبارة التحفة مع الأصل: لا جلد كلب وخنزير. وفرع أحدهما فلا يحل لبسه لغلظ نجاسته إلا لضرورة
كفجأة قتال، أو خوف نحو برد ولم يجد غيره، نظير ما مر في الحرير. وخرج بلبسه استعماله في غيره، كافتراشه، فيحل قطعا
- كما في الأنوار - وإن قال الزركشي المذهب المنصوص أنه لا ينتفع بشئ منهما.
6). تحفة الحبيب على شرح الخطيب ج
2 صـ 511
لا دهن نحو كلب كخنزير فلا يحل الاستصباح
به لغلظ نجاسته ويحل لبس شئ متنجس ولا رطوبة لان نجاسته عارضة سهلة الازالة لا لبس
نجس كجلد ميتة لما عليه من التعبد باجتناب النجس لاقامة العبادة إلا لضرورة كحر ونحوه
مما مر. قوله : ( لا دهن نحو كلب ) فلا يحل الاستصباح به ولا الطلي لغلظ نجاسته
؛ نعم أفتى شيخنا م ر بجواز دهن كلب محترم بدهن كلب آخر حيث دعت له حاجة ولم يلزم منه
تضمخ بنجاسة عيناً . قال شيخنا زي : ويؤخذ من التعليل المتقدم أنه لا يجوز الدبغ بروث
الكلب ونحوه وإن أجزأ في الدبغ اه خ ض .
7). حاشية البجيرمي ج 1 صـ 91 دار
الفكر
قوله : ( وفارق كثير الماء كثير غيره
) أي من المائعات المفهومة من قول المصنف ماء ، وفيه أنه لم يبين حكم غير الماء حتى
يفرق بينه وبين الماء . ويجاب بأن حكم غير الماء من المائعات معلوم عند حملة الشرع
، وعبارة عيون المسائل لا تنجس القلتان من الماء بوقوع النجاسة فيهما إذا لم يتغير
ولو وقعت في غيره من المائعات تنجس وإن لم يتغير والفرق أن الماء طهور يرفع الحدث
ويزيل النجاسة إذا طرأ عليها ، فاحتمل ورود النجاسة إذا طرأت عليه وليس كذلك الخل فإنه طاهر لا يرفع الحدث ولا يزيل النجاسة إذا طرأ
عليها فلا يحمل النجاسة إذا طرأت عليه اهــ . وعند مالك لا ينجس الماء بملاقاة
النجس إِلا بالتغير وإن كان قليلاً واختاره كثير من الشافعية كما قاله ابن حجر واستدلوا بخبر
8). تقريرات السديدة صـ 135
نجاسة حكمية وهي التي لا لون ولا
ريح ولا طعم لها ( كبول جف ولم تدرك له صفة أو نجاسة أزيلت أوصافها بغير ماء طهور
فلها حكم النجاسات الحكمية ) سبب التسمية بالحكمية لأ ننا طكمنا على المحل بنجاسته
بدون وجود صفة من صفاتها اللون أو الريح أو الطعم كيفية إزالتها تطهر بجريان الماء
عليها .
9). تحفة الحبيب على شرح الخطيب ج
1 صـ 353
قوله : ( يكفي لهما غسلة واحدة ) والمراد
بها في الحكمية الأولى من الثلاثة المطلوبة ، وفي المغلظة السابعة مع التراب
ولا يعتد بالنية إلا حينئذ كما قاله شيخنا . وإن توقف فيه الشيخ ، وفي العينية مزيلة
العين اه طب على المنهج فقوله وفي العينية معطوف على قوله وفي الحكمية
10). الموسوعة الفقهية الكويتية ج
9 ص 108
(طهارة النجاسة بالاستحالة) اتفق الفقهاء
على طهارة الخمر بالاستحالة فإذا انقلبت الخمر خلا صارت طاهرة وتفصيل ذلك في مصطلح
واختلف الفقهاء فيما عدا الخمر من نجس العين هل يطهر بالاستحالة أم لا ؟ فذهب الشافعية
والحنابلة إلى أنه لا يطهر نجس العين بالاستحالة لأن النبي ( (نهى عن أكل الجلالة وألبانها)
لأكلها النجاسة ولو طهرت بالاستحالة لم ينه عنه قال الرملي ولا يطهر نجس العين بالغسل
مطلقا ولا بالاستحالة كميتة وقعت في ملاحة فصارت ملحا أو أحرقت فصارت رمادا وقال البهوتي
من الحنابلة ولا تطهر نجاسة بنار فالرماد من الروث النجس نجس وصابون عمل من زيت نجس
نجس وكذا لو وقع كلب في ملاحة فصار ملحا أو في صبانة فصار صابونا
11). حاشية الشرقاوي على التحرير ج 2 صـ 449-450
وأما لو استهلكت الخمرة فى الدواء
بأن لم يبق لها وصف فلا يحرم استعمالها كصرف باقى النجاسات هذا إن عرف أو أخبره طبيب
عدل بنفعها ولو احتيج لقطع نحو سلعة أو يد متأكلة إلى زوال عقل صاحبها بنحو بنج جاز
لا بمسكر مائع وجوع وكذا يجوز سقيها للصغير إذا شم رائحة الخمر وخيف عليه إذا لم
يسق منها مرض تحصل منه مشقة وإن لم يخف منه الهلاك وكذا لو تعذر عليه افتضاض البكر
إلا بإطعامها ما يغيب عقلها من بنج أو حشيش فيجوز ذلك لأنه وسيلة إلى تمكن الزوج من
الوصول إلى حقه ومعلوم أن محل جواز وطئها ما لم يحصل لها به أذى لا يحتمل معه فى إزالة
البكارة
12). أسنى المطالب في شرح روضة
الطالب ج 4 صـ 159 منارا قدس
(ويجوز التداوي بنجس) غير مسكر (كلحم
حية وبول ومعجون خمر) كما مر في الأطعمة (ولو) كان التداوي (لتعجيل شفاء) كما يكون
لرجائه فإنه يجوز (بشرط إخبار طبيب مسلم) عدل بذلك (أو معرفة المتداوي) به إن عرف (و) بشرط
(عدم ما يقوم به مقامه) مما يحصل به التداوي من الطاهرات
13). حاشية البجيرمي على الخطيب ج
12 صـ 237
أما الترياق المعجون بها ونحوه مما
تستهلك فيه فيجوز التداوي به عند فقد ما يقوم مقامه مما يحصل به التداوي من الطاهرات
كالتداوي بنجس كلحم حية وبول. ولو كان التداوي بذلك لتعجيل شفاء بشرط إخبار طبيب
مسلم عدل بذلك أو معرفته للتداوي به
14). فيض القدير ج 4 صـ 336
(عليكم بالإثمد) الكحل الأسود أي الزموا
التكحل به (فإنه يجلو البصر) أي يزيد نور العين بدفعه المواد الرديئة المنحدرة من الرأس
(وينبت الشعر) بتحريك العين هنا أفصح للازدواج والمراد شعر هدب العين لأنه يقوي طبقاتها
وهذا من أدلة الشافعية على ندب الاكتحال بالأثمد قال ابن العربي: التكحل مشروع مستثنى
من التداوي قبل نزول الداء الذي هو مكروه طبا وشرعا وذلك لحاجة الانتفاع بالبصر
وكثرة تصرفه وعظيم نفعه وقيل إنه يطرأ على البصر من الغبار ما يكون عنه القذى وينزل
منه بالعين ما يؤذيها فيشرع التكحل ليزول ذلك الداء فهو تطبب بعد نزول الداء لا قبله
ومنافع الاكتحال كثيرة وأجود الأكحال وأيسرها وجودا سيما بالحجاز الإثمد
15 حاشية الجمل ج 5 صـ 158
كِتَابُ الْأَشْرِبَةِ وَالتَّعَازِيرِ. وَالْأَشْرِبَةُ جَمْعُ شَرَابٍ بِمَعْنَى مشروب " كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ
كَثِيرُهُ " مِنْ خَمْرٍ أَوْ غَيْرِهِ " حَرُمَ تَنَاوُلُهُ " وَإِنْ
قَلَّ وَلَمْ يُسْكِرْ لآية: {إِنَّمَا الْخَمْرُ} 1 وَلِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ
" كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ" وَخَبَرُ مُسْلِمٍ " كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ" " وَلَوْ كَانَ " تَنَاوُلُهُ
" لِتَدَاوٍ أَوْ عَطَشٍ " وَلَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ لِعُمُومِ النَّهْيِ عَنْهُ
(قَوْلُهُ: أَيْضًا وَلَوْ كَانَ لِتَدَاوٍ) أَيْ مَا لَمْ يَسْتَهْلِكْ فِي غَيْرِهِ
وَلَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُومُ مَقَامَهُ وَإِلَّا جَازَ التَّدَاوِي بِهِ اهـ س ل
وَقَوْلُهُ: أَوْ عَطَشٍ أَيْ مَا لَمْ يَنْتَهِ الْأَمْرُ بِهِ إلَى الْهَلَاكِ وَإِلَّا
وَجَبَ وَإِنْ كَانَ لَا يُسَكِّنُ الْعَطَشَ بَلْ يُثِيرُهُ اهـ ح ل. وَعِبَارَةُ أَصْلِهِ مَعَ شَرْحِ م ر، وَالْأَصَحُّ تَحْرِيمُهَا صَرْفًا
لِدَوَاءٍ لِخَبَرِ «إنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِي فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْهَا»
وَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ مِنْ إثْبَاتِ مَنَافِعَ لَهَا فَهُوَ قَبْلَ تَحْرِيمِهَا
أَمَّا مُسْتَهْلِكُهُ مَعَ دَوَاءٍ آخَرَ فَيَجُوزُ التَّدَاوِي بِهَا كَصَرْفِ بَقِيَّةِ
النَّجَاسَاتِ إنْ عَرَفَ أَوْ أَخْبَرَهُ طَبِيبٌ عَدْلٌ بِنَفْعِهَا وَتَعَيُّنِهَا
بِأَنْ لَا يُغْنِيَ عَنْهَا طَاهِرٌ
16). الموسوعة الفقهية الكويتية ج
16 صـ 257
هَذِهِ بَعْضُ أَمْثِلَةٍ لِلْحَاجَةِ
الْعَامَّةِ. وَمِنْ أَمْثِلَةِ الْحَاجَةِ الْخَاصَّةِ مَا يَأْتِي: ذَكَرَ الزَّرْكَشِيُّ مِنْ تَطْبِيقَاتِ قَاعِدَةِ (الْحَاجَةُ الْخَاصَّةُ
تُبِيحُ الْمَحْظُورَ) : الأَْكْل مِنْ طَعَامِ الْكُفَّارِ فِي دَارِ الْحَرْبِ، فَإِنَّهُ
جَائِزٌ لِلْغَانِمِينَ رُخْصَةً لِلْحَاجَةِ وَلاَ يُشْتَرَطُ أَنْ لاَ يَكُونَ مَعَهُ
طَعَامٌ آخَرُ، بَل يَأْخُذُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ وَإِنْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ. وَمِنْ ذَلِكَ لُبْسُ الْحَرِيرِ لِحَاجَةِ الْجَرَبِ وَالْحِكَّةِ، وَسَكَتَ
الْفُقَهَاءُ عَنِ اشْتِرَاطِ وُجُودِ مَا يُغْنِي عَنْهُ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ لُبْسٍ
كَمَا فِي التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَةِ. وَذَكَرَ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ فِي
قَوَاعِدِهِ أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ اقْتِنَاءُ الْكِلاَبِ إِلاَّ لِحَاجَةٍ مَاسَّةٍ
كَحِفْظِ الزَّرْعِ وَالْمَوَاشِي وَاكْتِسَابِ الصَّيُودِ وَغَيْرُ ذَلِكَ كَثِيرٌ
مِنَ الْمَسَائِل الَّتِي ذَكَرَهَا الْفُقَهَاءُ.
أَسْبَابُ الْحَاجَةِ : الإِْنْسَانُ مُحْتَاجٌ إِلَى مَا يُحَقِّقُ مَصَالِحَهُ الدِّينِيَّةَ
وَالدُّنْيَوِيَّةَ دُونَ حَرَجٍ وَمَشَقَّةٍ، وَكُل مَا يَلْحَقُ الإِْنْسَانَ مِنْ
مَشَقَّةٍ وَحَرَجٍ لِعَدَمِ تَحَقُّقِ الْمَصْلَحَةِ يُعْتَبَرُ مِنْ أَسْبَابِ الْحَاجَةِ.
وَلِذَلِكَ يَقُول الشَّاطِبِيُّ: الْحَاجِيَّاتُ مُفْتَقَرٌ إِلَيْهَا مِنْ حَيْثُ
التَّوْسِعَةُ وَرَفْعُ الضِّيقِ الْمُؤَدِّي فِي الْغَالِبِ إِلَى الْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ
اللاَّحِقَةِ بِفَوْتِ الْمَطْلُوبِ. وَيُمْكِنُ تَقْسِيمُ أَسْبَابِ الْحَاجَةِ أَوْ
حَالاَتِ الْحَاجَةِ إِلَى قِسْمَيْنِ: الأَْوَّل: أَسْبَابٌ مَصْلَحِيَّةٌ فِي الأَْصْل تَتَعَلَّقُ بِالْمَصَالِحِ
الْعَامَّةِ لِلنَّاسِ فِي حَيَاتِهِمُ الدِّينِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ. وَهَذِهِ
الْمَصَالِحُ هِيَ مَا شُرِعَ لَهَا مَا يُنَاسِبُهَا وَيُحَقِّقُهَا كَالْبَيْعِ وَالإِْجَارَةِ
وَسَائِرِ الْعُقُودِ، وَكَذَلِكَ أَحْكَامُ الْجِنَايَاتِ وَالْقِصَاصِ وَالضَّمَانِ
وَغَيْرِهَا. وَالإِْنْسَانُ مُكَلَّفٌ بِعِبَادَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
مَا دَامَتْ حَيَاتُهُ، وَلاَ تَتِمُّ حَيَاتُهُ إِلاَّ بِدَفْعِ ضَرُورَاتِهِ وَحَاجَاتِهِ
مِنَ الْمَآكِل وَالْمَشَارِبِ وَالْمَنَاكِحِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَنَافِعِ،
وَلاَ يَتَأَتَّى ذَلِكَ إِلاَّ بِإِبَاحَةِ التَّصَرُّفَاتِ الدَّافِعَةِ لِلضَّرُورَاتِ
وَالْحَاجَاتِ.
17). إحياء علوم الدين جـ: 1 صـ:
16
اعلم أن الفرض لا يتميز عن غيره إلا
بذكر أقسام العلوم والعلوم بالإضافة إلى الغرض الذي نحن بصدده تنقسم إلى شرعية وغير
شرعية؛ وأعني بالشرعية ما استفيد من الأنبياء صلوات الله عليهم وسلامه، ولا يرشد العقل
إليه مثل الحساب، ولا التجربة مثل الطب، ولا السماع مثل اللغة: فالعلوم التي ليست بشرعية
تنقسم إلى ما هو محمود وإلى ما هو مذموم وإلى ما هو مباح، فالمحمود ما يرتبط به مصالح
أمور الدنيا كالطب والحساب وذلك ينقسم إلى ما هو فرض كفاية وإلى ما هو فضيلة وليس بفريضة:
أما فرض الكفاية فهو علم لا يستغني عنه في قوام أمور الدنيا كالطب، إذ هو ضروري
في حاجة بقاء الأبدان. وكالحساب؛ فإنه ضروري في المعاملات وقسمة الوصايا والمواريث
وغيرهما.
18). الميزان الكبرى الشعرانية صـ
136-137
وقد أجمع بعض أهل الكشف على أن
الأكل والشرب من سؤر الكلب يورث القساوة في القلب حتى لا يصير العبد يحن إلى موعضة
ولا فعل شيء من الخيرات ، وقد جرب ذلك شخص من أصحابنا المالكية فشرب من لبن شرب
منه كلب فمكث تسعة أشهر وهو مقبوض القلب عن كل خير حتى كاد أن يهلك – إلى ان
قال – ولما كان سؤر الكلب يورث في القلب الذي
عليه مدار الجسد موتا أو ضعفا يمنعه من قبول المواعظ التي تدخله الجنة بالغ الشارع
صلى الله عليه وسلم في الغسل من أثره سبعا إحداها بتراب دفعا لذلك الأثر بالكلية فإنه
جمع فيه بين الماء والتراب اللذين إذا اجتمعا أنبتا الزرع – إلى ان قال – ومن
ذلك قول الإمام الشافعي وأبي حنيفة بنجاسة الخنزير وأنه يغسل منه سبعا عند الشافعي
.
19). إحياء علوم الدين ج 1 صـ 481
مسألة الحرام الذي في يده لو تصدق
به على الفقراء فله يوسع عليهم وإذا أنفق على نفسه فليضيق ما قدر وما أنفق على عياله
فليقتصد وليكن وسطاً بين التوسيع والتضييق فيكون الأمر على ثلاث مراتب فإن أنفق على
ضيف قدم عليه وهو فقير فليوسع عليه وإن كان غنياً فلا يطعمه إلا إذا كان في برية أو
قدم ليلاً ولم يجد شيئاً فإنه في ذلك الوقت فقير وإن كان الفقير الذي حضر ضيفاً تقياً
لو علم ذلك لتورع عنه فليعرض الطعام وليخبره جمعاً بين حق الضيافة وترك الخداع فلا
ينبغي أن يكرم أخاه بما يكره ولا ينبغي أن يعول على أنه لا يدري فلا يضره فإن الحرام
إذا حصل في المعدة أثر في قساوة القلب وإن لم يعرفه صاحبه ولذلك تقيأ أبو بكر وعمر
رضي الله عنهما وكانا قد شربا على جهل وهذا وإن أفتينا بإنه حلال للفقراء أحللناه بحكم
الحاجة إليه فهو كالخنزير والخمر إذا أحللناهما بالضرورة فلا يلتحق بالطيبات
Sumber :
Hasil Keputusan Bahtsul Masa`il
Ke-II
LBM Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur
Senin malam Selasa 09 Dzulhijjah 1439 H. / 20 Agustus 2018 M.
Link Asal :
https://lirboyo.net/rekomendasi-lirboyo-atas-imunisasi-measles-rubella-mr/